Kota Bukittinggi adalah
kota terbesar kedua di Provinsi
Sumatera Barat,
Indonesia.
[2] Kota ini pernah menjadi
ibu kota Indonesia pada masa
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
[3] Kota ini juga pernah menjadi ibu kota Provinsi Sumatera dan Provinsi
Sumatera Tengah.
[4]
Bukittinggi pada zaman kolonial Belanda disebut dengan
Fort de Kock dan dahulunya dijuluki sebagai
Parijs van Sumatra selain
Kota Medan.
[5] Kota ini merupakan tempat kelahiran beberapa tokoh pendiri Republik Indonesia, di antaranya adalah
Mohammad Hatta dan
Assaat yang masing-masing merupakan proklamator dan
pejabat presiden Republik Indonesia.
Selain sebagai kota perjuangan, Bukittinggi juga terkenal sebagai kota wisata yang berhawa sejuk, dan bersaudara (
sister city) dengan
Seremban di
Negeri Sembilan,
Malaysia. Seluruh wilayah kota ini berbatasan langsung dengan
Kabupaten Agam. Tempat wisata yang ramai dikunjungi adalah
Jam Gadang, yaitu sebuah
menara jam yang terletak di jantung kota sekaligus menjadi simbol bagi kota yang berada di tepi
Ngarai Sianok.
Sejarah
Kota Bukittinggi semula merupakan pasar (pekan) bagi masyarakat Agam Tuo. Kemudian setelah kedatangan
Belanda, kota ini menjadi kubu pertahanan mereka untuk melawan
Kaum Padri.
[6] Pada tahun 1825, Belanda mendirikan benteng di salah satu bukit yang terdapat di dalam kota ini. Tempat ini dikenal sebagai benteng
Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Pada masa pemerintahan
Hindia-Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah
stadsgemeente (kota),
[7] dan juga berfungsi sebagai ibu kota
Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan
Onderafdeeling Oud Agam.
[8]
Pada masa pendudukan
Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan
Sumatera, bahkan sampai ke
Singapura dan
Thailand. Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 Kempetai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji.
[9] Kemudian kota ini berganti nama dari
Stadsgemeente Fort de Kock menjadi
Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti
Sianok Anam Suku,
Gadut,
Kapau,
Ampang Gadang,
Batu Taba, dan
Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah
Kabupaten Agam.
Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi
kota besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah Provinsi
Sumatera Tengah masa itu,
[13] yang meliputi wilayah Provinsi
Sumatera Barat,
Jambi,
Riau, dan
Kepulauan Riau sekarang.
Dalam rangka perluasan wilayah kota, pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1999 yang isinya menggabungkan nagari-nagari di sekitar Bukittinggi ke dalam wilayah kota. Nagari-nagari tersebut yaitu
Cingkariang,
Gaduik,
Sianok Anam Suku,
Guguak Tabek Sarojo,
Ampang Gadang,
Ladang Laweh,
Pakan Sinayan,
Kubang Putiah,
Pasia,
Kapau,
Batu Taba, dan
Koto Gadang.
[14] Namun, sebagian masyarakat di nagari-nagari tersebut menolak untuk bergabung dengan Bukittinggi sehingga, peraturan tersebut hingga saat ini belum dapat dilaksanakan.
[15]
Georafis
Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian
Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau
Sumatera, dan dikelilingi oleh dua gunung berapi yaitu
Gunung Singgalang dan
Gunung Marapi. Kota ini berada pada ketinggian 909–941 meter di atas permukaan laut, dan memiliki hawa cukup sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1–24.9 °C. Sementara itu, dari total luas wilayah Kota Bukittinggi saat ini (25,24 km²), 82,8% telah diperuntukkan menjadi lahan budidaya, sedangkan sisanya merupakan hutan lindung.
Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan, di antaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit Paninjauan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat lembah yang dikenal dengan
Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75–110 m, yang di dasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang.